aktivis mahasiswa

aktivis mahasiswa

MATI SIJI MATI KABEH. MUKTI SIJI MUKTI KABEH.

MATI SIJI MATI KABEH. MUKTI SIJI MUKTI KABEH.
amruloh. Diberdayakan oleh Blogger.
pemikiran tentang perubahan sosial

pemikiran tentang perubahan sosial



TEORI PERUBAHAN SOSIAL: GERAKAN PEMUDA ISLAM (ORMAS DAN MAHASISWA) DALAM MENGUATKAN SIMPUL NASIONALISME[1]

Dunia global terus terguncang oleh adanya separatisme golongan karena keberpihakannya pada ideology individualisme yang menghanyutkan seluruh tatanan sosial masyarakat. Peristiwa rezim syuriah adalah bentuk nyata bahwa keakraban di-era interaksi global mulai memperlihatkan isi aslinya. Perpecahan suku dan golongan ditandai dengan dimilikinya kembali hak yang sudah menjadi Milik Negara dan dikonsumsi (dieksploitasi) sendiri. Indonesia contoh keduanya dari muslim terbesar dunia ini, basis negara yang diperkuat dalam sense of nasionalisme pada zaman kemerdekaan kinilah hampir tiada karena semua rakyat di Indonesia ini Lupa pada jati dirinya. Lupa bahwa negara ini dibentuk atas dasar perbedaan yang di nasionaliskan, disamakan demi kemerdekaan bangsa ini (payung pancasila).  Saat ini bangsa Indonesia, masih mengalami krisis multidimensi yang mengguncang kehidupan kita. Sebagai salah satu masalah utama dari krisis besar itu adalah ancaman disintegrasi bangsa yang hingga saat ini masih belum mereda. Secara umum integrasi nasional mencerminkan proses persatuan orang-orang dari berbagai wilayah yang berbeda, atau memiliki berbagai perbedaan baik etnisitis, social budaya, atau latar belakang ekonomi, menjadi satu bangsa terutama karena pengalaman sejarah dan politik yang realatif sama. Proses pembentukan persatuan bangsa dengan adanya semboyan Bhineka Tunggal Ika. Proses integrasi nasional bangsa Indonesia telah dipaparkan dalam dimensi sejarah, sebuah jawaban yang sangat panjang atas pertanyaan “apa yang terjadi dengan proses integrasi nasional kita”. Inti historis jawabnya adalah bahwa kita telah membangun suatu bangsa dan mencapai integrasi nasional. Harus diakui bahwa kita masih menyimpan banyak masalah yang harus diselesaikan, dan kita meninggalkan luka yang masih menyakitkan pada diri kita sebagai bangsa yang harus kita sembuhkan.Seiring dengan derasnya arus globalisasi dan perkembangan kehidupan yang begitu pesat, maka masalah integrasi bangsa tengah menghadapi tantangan yang cukup berat sebab dinamika perkembangan lingkungan strategis telah membawa nuansa baru terhadap kadar interaksi, interelasi dan interdependensi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Faktor penyebabnya antara lain adalah bergesernya nilai nasionalisme yang semula lebih berorientasi kepada nilai politik dan geo-politik bergeser menuju nilai ekonomi dan geo-ekonomi. Pergeseran nilai ini dari yang semula berorientasi kepada pentingnya kesatuan persatuan untuk membentuk masyarakat bangsa yang kuat, menjadi berorientasi kepada aksesibilitas profesionalisme untuk meningkatkan kesejahteraan dan keamanan demi kelangsungan hidupnya. Pada posisi ini, ikatan kepada kadar kesatuan persatuan bangsa, dapat dikalahkan oleh kepentingan yang lebih bersifat pribadi.

Fenomena di atas telah melanda hampir seluruh lapisan masyarakat di mana pun berada nyaris tanpa ada kekuatan yang dapat menghalanginya. Posisi yang paling kritis adalah manakala perubahan tersebut ada pada posisi anomi, yaitu posisi di mana nilai lama, baru saja ditinggalkan, nilai baru belum mapan, sehingga posisi ini merupakan posisi yang paling tidak stabil mudah dipengaruhi oleh unsur-unsur eksternal, yang dinamika perubahannya amat besar. Keadaan demikian akan dapat menimbulkan goncangan yang mengganggu kohesi nasional. Oleh sebab itu apabila berbagai komponen kekuatan bangsa yang dihadapkan pada konflik faktual dapat dihimpun menjadi kekuatan yang sinergi, berinteraksi secara proaktif partisipatif, melalui sharing (tukar pikiran) kepentingan, saling memberi dan menerima, membangun kepercayaan kepada sistem, mau saling mendengarkan, menjalin persaudaraan sejati atas dasar keterbukaan serta membangun komitmen kepada kepentingan nasional. Masing-masing komponen kekuatan bangsa mengadakan reorientasi visi dan sikapnya yang semula lebih berorientasi pada kepentingan kelompoknya menjadi berorientasi kepada kepentingan nasional yaitu kesatuan persatuan bangsa, keutuhan wilayah yurisdiksi nasional dan pengembangan kehidupan bangsa yang dibangun atas dasar kerjasama saling menguntungkan, maka integrasi bangsa, nasionalisme dan ketahanan nasional Indonesia dapat dipertahankan.

Ancaman terbesar dari “nation state” yaitu bentuk“new social movement”  diskriminasi, terbentuknya kelompok-kelompok baru yang berbasis etnisitas, agama, bahasa. Nilai- nilai lokal tidak bisa untuk dihapuskan, sebab kesetiaan-kesetian yang awal yang dibawa sejak manusia lahir jauh ada sebelum negara bangsa ada, tapi bagaimana kemudian nilai-nilai lokal, etnisitas, adat istiadat, agama, primordialisme, bahasa diperkuat menjadi identitas nasional, ini memang tidak mudah butuh waktu, kesabaran. Loyalitas kesetiaan nasional pada negara bangsa sangat penting “nation state”. Nation- state atau negara bangsa  bukan merupakan identitas yang alamiah, tapi melalui proses yang cukup lama, seperti di Amerika Serikat dan Perancis melalui revolusi modernisasi dan industri, nasionalisme merupakan rasionasitas dari kebangsaan. Ketika berbicara nasionalisme, bukan pada level simbol-simbol negara seperti penghormatan kepada bendera, dan lagu kebangsaan Indonesia raya, dari SD sampai SLTA kita upacara bendera setiap senen. Namun yang sulitnya adalah menguatkan nilai-nilai nasionalisme menuju nilai-nilai identitas nasional, mempertahankan NKRI dengan nilai-nilai anti kekerasan, toleran, mampu memilihara pluralism, etnosentrisme dan Bhineka Tunggal Ika, karena kita bangsa yang heterogen, keterwakilan dan perlindungan terhadap kaum minoritas menuju bangsa yang “strong nation state” negara yang bermartabat, kuat dan negara berbudaya, Indonesia emas “Political State”.

Primordialisme, ketika negara tidak mampu memeliharanya dengan baik akan berujung kepada gerakan-gerakan seperatisme seperti GAM, RMS, konsekuensinya mengancam NKRI, kenapa ini bisa terjadi? Adalah karenaketidak adilan pembagian sumber daya ekonomi, kemiskinan. Sekedar mencontohkan marginalisasi Menteri di isi oleh orang-orang pusat, pembangunan yang tidak merata, dana perimbangan dari pusat kedaerah“tricle down effect”. Namun nilai-nilai primordialisme, etnosentrisme tidak bisa dihapus tapi dikembangkan menjadi identitas nasional. Partai punya tugas untuk mempromosikan orang tanpa melihat daerah dan suku, dan menempatkan  untuk keterwakilan kaum minoritas dalam pemerintahan, munculnya partai lokal di Aceh, dan itu bagian dari demokrasi consensus, untuk keterwakilan minoritas, asumsi partai Aceh berbahaya untuk identitas nasional tidak terbukti,  selama pemerintah mampu memiliharanya dengan baik.
Etnis Tioanghoa, bukti emperis bagaimana negara untuk melindunggi etnis minoritas, sudah masuknya etnis Cina ke parlemen menjadi anggota DPR, membuktikan bahwa negara bisa memelihara pluralism di republik ini, sebab “political equality” kedudukan yang sama dalam politik adalah kemajuan dalam edentitas nasional. Nation state akan kuat ketika diskriminasi semakin berkurang dan sebaliknya.


[1] Ditulis oleh amruloh sebagai topic dan resensi untuk pemateri LK2 HMI Cabang tulungagung 17-23 September 2013.

karya: amruloh
pemikiran keislaman

pemikiran keislaman


“MASA DEPAN ISLAM” DI INDONESIA
Oleh amruloh

          Indonesia milik kita ini adalah bangsa yang mempunyai nilai sejarah Islam trans-nasional, artinya sejarah telah bercerita tentang Negara-negara Islam dunia mengkampanyekan Islam sampai ke negeri ini. Negeri Indonesia merupakan negeri yang mempunyai kapasitas warga Islam terbesear di dunia, walaupun pondasi Islam terlahir di arab. Berbicara tentang masa depan sama artinya memprediksi secara subyektif tentang segala kejadian akan datang dengan cara intelektual. Sekarang-pun Islam di Indonesia baik-baik saja, jika dibandingkan dengan Negara-negara Islam di timur tengah yang beberapa tahun terakhir sedang bergolak.
          Beberapa waktu yang lalu Prof.  Greg Barton dari Monash University, Australia memberi kuliah international pada 15 dosen dari jurusan Hubungan Internasional (HI), dan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) dengan temaIslam, Liberalism and Secular Democracy: Prospect for Reform in The Middle East dan Northern Africa in The Wake of Arab Spring”. Menurut analisinya demokrasi sudah mulai tumbuh di kawasan Timur Tengah dan Afrika. Di Tunisia sudah mulai dilakukan lewat open election oleh rakyatnya. Di Mesir demokrasi berjalan dengan cukup stabil namun adanya perlawanan dan oposisi dari Ihwanul Muslimin yang beraliran keras sering menggangu jalannya demokrasi di sana. Di Arab Saudi demokrasi terlihat ketika Arab Saudi mau membangun universitas baru untuk perempuan dimana nantinya perempuan Arab dapat berkegiatan dengan lebih bebas di dalamnya. Dari berbagai negara di Middle East dan Northern Africa (MINA), ada beberapa negara yang menunjukkan kestabilannya (tidak bergejolak) seperti Oman dan Kuwait. Tantangan bagi kebangkitan dunia Arab ini adalah pluralisme, bukan hanya aliran (Sunni, Syiah) namun juga perbedaan suku karena masih banyak pihak yang sulit menerima kepluralismean yang ada di tanah Arab.
          Sebenarnya jumlah penduduk di MINA hampir sama dengan jumlah penduduk di Indonesia yaitu sekitar 500 juta orang. Orang-orang sering lupa bahwa jumlah penduduk muslim terbesar itu ada di Indonesia dan demokrasi yang dapat berjalan beriringan dengan Islam itu ada di Turki, sehingga sebenarnya masa depan dunia Islam itu ada di Indonesia dan  Turki.
          Orang tidak perlu risau selama dua sayap Islam di Indonesia ini, NU dan Muhammadiyah, tetap bekerja keras menegakkan panji-panji Islam , ramah dan toleran kepada siapa saja, dan selama semua pihak saling menghormati perbedaan pandangan. Tetapi perlu untuk diingat masa jahiliyah, Bencana besar bisa saja terjadi apabila pemeluk agama kehilayangan manhaj-al fikr (daya nalar)nya, kemudian menghakimi semua orang (notabene keadilan social dan sejahtera semua golongan) yang tidak sepaham  dengan aliran pemikiran  yang sejalur (monolitik).
          Manusia karakteristiknya suka mengeksploitasi (SDM dan SDA) sampai kebenaranpun dieksploitasi. Dalam dinamika peradapan umat  manusia tentang sikap memonopoli kebenaran ini tidak sulit untuk dicari. Darah pun banyak tertumpah akibat main hakim sendiri  dan pemghakiman segolongan orang terhadap pihak lain karena perbedaan tafsiran agama atau ideologi. Belum lagi terkait tentang fundamentalisme islam. Terorisme terjadi dimana-mana. Tentang fundalisme dikawasan portal Islam,  yang banyak dikutip adalah pertama, kegagalan umat islam menghadapi arus modernitas yang dinilai menhyudutkan Islam. Agaknya Islam setuju sih engan arus modernisme, dan no westernisme. Teori fundalisme kedua,  fundalisme mengatasnamakan rasa kesetiakawana terhadap nasib yang menimpa saudara-saudara di Palestina, Kashmir, Afganistan, dan Iraq. Perasaan solidaritas inilah menjadi dasar dalam memperjuangkan (katanya akidah). Tetapi yang ditunjukkan oleh segolongan mayoritas adalah kekerasan. Jika dikaitkan dengan kondisi Indonesia, misalkan praktis secara ekstrem yaitu terorisme di marriot, bali dll. Teori ketiga fundamentalis  di nusantara ini disebabkan kegagalan Negara dalam mewujudkan cita-cita kemerdekaan berupa tegaknya keadilan social dan terciptanya kesejahteraan yang merata bagi seluruh rakyat. Namun Karena golongan fundamentalis ini miskin bahkan buta peta sosiologis Indonesia yang tak sederhana, mereka menempuh jalur pintas. Kaum fundamentalis perlu untuk ditembak dilapangan banteng agaknya. Kondisi Indonesia jauh dari keadilan, cara mereka mengatasnamakan tegaknya syariat  semakin menjauhkan dari rasa nasionalisme bangsa ini. Indonesia sebagai kawasan muslim terbesar dunia, tak mungkin dihanguskan oleh otak-otak sederhana, memilih jalur pintas dan kekerasan.ternyata demokrasi di Indonesia masih lemah, transisi demokrasi yang makin melemahkan sendi sendi-sendi kehidupan berbangsa. Demokrasi Indonesia perlu untuk diberikan obat, dan umat kita lah dokternya.
pemikiran tentang era global neo ;iberalisme

pemikiran tentang era global neo ;iberalisme


HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM

(HMI) CABANG TULUNGAGUNG


Sekretariat: Jl. Dr. Wahidin Sudiro Husodo Gg. Balai Desa Kedungwaru Tulungagung
DAMPAK GLOBALISASI DI INDONESIA[1]
                Globalisasi memang tidak memiliki makna yang tunggal, namun secara terminologis dapat dikatakan bahwa globalisasi adalah proses mendunia, dari kata globe yang arti sederhananya adalah dunia, global yang berarti sedunia, sejagat. Menurut eggy sudjana, globalisasi merupakan ideology kapitalisme.[2] Globalisasi identik dengan suatu ungkapan yang berarti penyatuan (integrasi) dan penundukan ekonomi local kedalam perekonomian dunia. Dengan demikian secara sederhana, era globalisasi dapat dimaknai sebagai era kesejagatan, sebuah kondisi sosial-budaya yang memungkinkan semua hal yang tadinya hanya dapat dijangkau dan berpengaruh serta dipenaruhi dalam konteks ruang dan waktu terbatas, hanya dikenal terbatas dalam ranah sosial tertentu, menjadi bersifat dunia dalam pengertian dunia internasional. Sesuatu itu mengalami proses mendunia, mencapai level internasional, mampu menjangkau seluruh penjuru dunia karena sudah bersifat global (bersifat dunia, harus dibedakan dengan “dunia” yang dilawankan dengan “akhirat”).
                Pada abad ke 2 M konstelasi dunia dikuasai oleh Romawi. Berlanjut keabad 4 dan 10 M dunia telah dikuasai oleh Negara Cina. Sesampainya abad ke 13 M dikuasai oleh bani Abbasiyah.[3] Dan kini, Memasuki abad ke-21, dunia ditandai dengan dominasi tunggal peradaban barat yang capital. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Francis Fukuyama dalam bukunya The End Of History “ umat manusia saaat ini sedang sama-sama digiring untu terlibat dalam revolusi global produk peradaban capital, termasuk didalamnya adalah liberalisasi ekonomi dan era pasar bebas. Sebagai misal, suatu produk budaya tertentu seperti makanan cepat saji (fast food) ala Amerika semacam McDonald’s dan Coca-Cola, yang sebenarnya ia berada pada konteks lokal Amerika, untuk memenuhi kebutuhan masyarakat industrialis-modernis Amerika yang membutuhkan layanan serba cepat, termasuk dalam hal makan-minum, yang membutuhkan sesuatu yang segar dan bergaya asyik (Coca-Cola). Namun dalam globalisasi, McDonald’s dan Coca-Cola berupaya untuk mendunia, mengglobal, dikenal di dan menjangkau seluruh penjuru dunia, memasarkan bahkan sampai jauh di pelosok Afrika, membuka waralaba di mana-mana. McDonald’s dan Coca-Cola dengan demikian dapat dikatakan telah mengglobal. Di sinilah, era di mana segala sesuatu memiliki kencederungan untuk mengglobal atau mendunia disebut sebagai era globalisasi. Selain itu, menurut Tokoh HMI Nurrendra Bagaskara,[4] adanya pasar bebas menjadikan perusahaan asing menghuni Indonesia salah satunya PT Freeport telah mengekploitasi kekayaan alam Indonesia. Asing menggunakan kebijakan Hukum Indonesia.
                Menurut seorang tokoh cendekiawan Indonesia yaitu kakanda nurcholis Madjid, Gobalisasi sangat identik dengan era modern. Dan kita pun paham di era modern ini sangat khas dengan industrialisasi. Industrialisasi adalah suatu kemestian, Industrialisasi sebagai ciri memasuki zaman modern.[5] Globalisasi ini berdampak pada sosio-kultural Indonesia yaitu pertama  semangat perorangan dengan tingkat kemandirian yang tinggi. Kedua perorangan mempunyai kemampuan menyesuaikan diri dengan keadaan yang selalu berubah. Ketiga masyarakat modern melahirkan individu-individu dengan kesadaran harga dan martabat diri yang relatif tinggi.
                Konon pada mulanya, globalisasi memang digagas sebagai jalan bagi perusahaan multinasional seperti Coca-Cola, Ford, dan McDonald’s untuk dapat memasarkan produknya ke seluruh pelosok dunia, tidak sekadar memenuhi kebutuhan masyarakat industrialis-modernis Amerika, tapi bahkan menciptakan segementasi baru, masyarakat di dunia lain sebagai konsumen-konsumen baru. Tiada lain tentu adalah untuk ekspansi perusahaan yang akan semakin memberikan untung yang berlipat ganda pada pemilik perusahaan, pemilik modal. Namun sebenarnya jika tilik lebih jauh mengenai globalisasi, di samping ia adalah keniscayaan dari pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang dapat menghubungkan semua orang dari seluruh penjuru dunia dalam jaringan maya radio, televisi, telepon, dan internet, sebenarnya globalisasi tiada lain adalah gagasan untuk melegitimasi bentuk baru dari penjajahan dan penindasan (neo-kolonialisme/neo-imperialisme).
                Hal ini karena dalam konteks sosio-politik-ekonomi, gagasan globalisasi dipromosikan begitu gencar oleh Barat (Amerika dan Eropa) dengan menyatakan bahwa globalisasi adalah keniscayaan yang tak dapat ditolak, ia adalah kenyataan yang pasti hadir dalam kehidupan dan kita tidak dapat mengelakkannya. Di sisi lain, pihak atau negara-negara yang memiliki kekuatan besar secara ekonomi, politik, dan bahkan budaya adalah Barat, terutama Amerika setelah perang dingin selesai, maka yang otomatis menguasai dunia atau secara kasar menjajah dunia adalah Barat. Globalisasi sebagai sebuah peluang, jalan, dan media yang memberi kesempatan siapa dan apa saja untuk mendunia pada hakikatnya tidaklah sedemikian fair, karena dalam arena kompetisi globalisasi pada akhirnya kekuatan-kekuatan besarlah yang akan mendominasi dan memenangkannya. Globalisasi dengan demikian adalah jalan lebar dari intervensi dalam bentuk penjajahan baru dalam ekonomi, budaya, dan politik dari negara-negara maju ke negara-negara berkembang.
                Di sinilah dalam bidang ekonomi, produk dunia industri Barat merajai dunia, budaya Barat mendunia dalam bentuk film-film Hollywood, disneyland, pun dalam bentuk pandangan hidup, tata nilai, norma kesusilaan dan lainnya, dalam bidang politik pun Barat menghegemoni dunia, Amerika Serikat bertindak bak polisi dunia yang disegani, tiada yang berani melawan ketika ia menyerbu Iraq dengan dalih mencari senjata biologis yang pada kenyataannya tidak ditemukan. Ilmu pengetahuan Barap pun menjadi cepat menyebar dan bahkan banyak yang kemudian diamini begitu saja, tanpa dikritisi dan koreksi lebih jauh. Globalisasi membentuk peta dunia baru, peta ekonomi, budaya, dan bahkan politik, tidak dalam arti geografi konvensional, tapi dalam peta dunia di mana batas-batas budaya sudah luntur, bahkan batas-batas transaksi ekonomi tiada lagi. Orang di Indonesia dapat bebas menerima pertunjukan tari Samba dari Brazil, di Brazil orang dapat menikmati tari Bali, di Indonesia orang dapat bertransaksi jual-beli dengan orang Eropa hanya dalam hitungan detik, produk-produk Barat membanjiri mall-mall di Indonesia.
                Dalam fenomena tersebut, kepentingan pemilik modal, mereka yang dalam analisis Marxian disebut sebagai para kapitalis-borjuis sangat kental, inilah yang secara sederhana disebut sebagai paham neoliberal (neoliberalisme), yakni mereka yang berpendirian bahwa satu-satunya, dan hanya satu-satunya jalan menuju kesejahteraan warga dunia adalah melalui pasar bebas, lain tidak. Dengan dimotori oleh Milton Friedman dan Hayek gagasan ekonomi-politik neoliberalisme dipromosikan dan kemudian dijalankan di banyak negara maju, termasuk Amerika dan Inggris pada mulanya. Mereka memperbarui ekonomi liberalisme klasik Adam Smith dan menolak teori ekonomi John Meynard Keyness yang memberikan kewenangan bagi negara untuk campur tangan dalam perekonomian. Ekonomi neoliberalsme dengan jargon pasar bebas menolak campur tangan pemerintah dalam transaksi ekonomi dengan mengatakan bahwa transaksi ekonomi pasar bebas akan mengoreksi dirinya sendiri (mitos invisible hand), dan sebaliknya campur tangan pemerintah dalam bentuk regulasi akan merusak tatanan ekonomi, oleh karena itu para ekonom neoliberal selalu mengusulkan perlunya deregulasi. Tatanan ekonomi neoliberalisme ini akan selalu berupaya mengukuhkan imperium para kapitalis-borjuis, bagaimana aar modal hanya berputar dan menjadi milik mereka, hal tersebut tidak hanya karena mereka memiliki hasrat tinggi (baca: keserakahan) dalam memupuk kekayaan materi, lebih dari itu mereka percaya pada doktrin neoliberalisme, yaitu mitos trickle down effect, bahwa kekayaan yang dipupuk dan dimiliki oleh para kapitalis-borjuis itulah yang akan menetes ke bawah dan menyejahterakan semuanya, lewat upah pada buruh, lewat filantropi, dan lainnya.
                Gagasan ekonomi neoliberal tersebut kemudian diteguhkan dengan didirikannya lembaga ekonomi seperti IMF, Bank Dunia, dan lainnya. lembaga-lembaga tersebutlah yang kemudian menginisiasi dibentuknya zona-zona perdagangan bebas di beberapa kawasan, dan kemudian nantinya akan betul-betul masuk dalam pasar bebas dunia. Cita-cita ideologis ekonomi neoliberal ini hanya dapat berjalan dengan dukungan dari gelombang globalisasi, tanpa globalisasi maka pasar bebas yang dicita-citakan para ekonomi neolib akan sulit terwujud. Hal yang perlu diingat di sini adalah, pasar bebas yang dipromosikan tersebut tentunya bukan pasar transaksi yang benar-benar bebas, kata “bebas” tersebut hanya kamuflase bagi tindakan monopoli, koersi oleh para kapitalis-borjuis terhadap kekuatan ekonomi kecil. Dalam pasar “bebas” itulah, ketika kompetisi dibuka untuk semua, baik yang punya modal kecil atau besar dapat bersaing bebas, maka sebetulnya yang terjadi adalah penindasan dari yang punya modal besar terhadap yang punya modal kecil. Ketika pemahaman tentang hak asasi manusia telah berkembang pesat, dan tiada lagi ruang untuk melakukan penjajahan gaya konvensional secara fisik, maka tiada lagi cara menjajah selain dalam bentuk baru, penjajahan ekonomi, politik, dan budaya melalui jalan lebas globalisasi.
                Di satu sisi globalisasi membawa dampak perubahan yang positif karena ilmu pengetahuan melalui teknologi informasi dan komunikasi terkini dapat diakses dengan cepat oleh siswa, dosen, peneliti di negara-negara berkembang seperti Indonesia via televisi dan internet. Namun di sisi lain globalisasi dengan pasar bebasnya telah membuat orang-orang di negara berkembang cenderung hanya sebagai konsumen yang tidak berdaya, produsen yang ditindas para pemodal yang lebih besar, karena peran negara telah dipreteli oleh pasar. Negara sekadar menjadi alat bagi kaum kapitalis-borjuis untuk meneguhkan kekuatan ekonomi mereka, membangun imperium kekuasaan baru, imperium kapitalisme global.
Nalar neoliberalisme ini pun pada akhirnya mencengkeram dunia pendidikan, karena pendidikan adalah ranah yang sangat strategis dalam membentuk tatanan sosial melalui transformasi intelektual dan sosial, terutama kampus yang didaku sebagai centre of exellence. Beberapa praktik neoliberalisme dalam pendidikan atau yang dapat disebut sebagai neoliberalisme pendidikan antara lain adalah, pertama, berupaya untuk melepas tanggung jawab pemerintah dalam mendanai pendidikan. Pendidikan publik yang mestinya menjadi hak dari tiap warga negara untuk mendapatkannya dilepaskan dari tanggung jawab negara, dan kemudian ia menjadi santapan empuk bagi kalangan pemodal untuk menjadikannya sebagai bagian dari bisnis mereka. Dalam pelepasan tanggung jawab tersebut, pemerintah menyerahkannya sebagai tanggung jawab masyarakat bersama.
Kedua, menyamakan dunia pendidikan dengan dunia industri. Dalam hal ini, sekolah, kampus dan semua institusi pendidikan dianggap bagaikan sebuah pabrik, di mana ilmu pengetahuan dijual, siapa yang dapat membayar lebih banyak maka ia yang akan mendapatkan ilmu pengetahuan lebih banyak. Sekolah dan kampus dikelola dalam nalar perusahaan (korporasi, menjadi korporatisasi) dengan banyak pertimbangan ekonomis, seperti efektivitas, efesiensi, produktivitas, dan lainnya. Nalar ini juga menjadikan institusi pendidikan adalah sarana untuk mengeruk dan memupuk untung materi, jadi tujuan utamanya bukanlah proses pemanusiaan, pemerdekaan, pengembangan ilmu pengetahuan, namun sekadar dapat berjalan sebagaimana rutinitas industri yang menerima in put, kemudian mengolahnya, dan mengeluarkan produk yang memiliki nilai tambah dan produktivitas lebih.
Ketiga, dunia pendidikan sekadar menjadi subsistem dari tatanan ekonomi neoliberal. Dalam nalar ini, siswa yang masuk dalam sekolah atau kampus dididik dengan doktrin-doktrin modernisme-neoliberal, mereka diarahkan pandangan hidupnya pada pencapaian kesuksesan hidup ala kaum neolib, diarahkan pembangunan sosial-budaya ala borjuis-kapitalis, dan ikut dalam pandangan dan gaya hidup kaum borjuis-kapitalis. Para siswa diberikan kompetensi yang sekiranya dibutuhkan oleh dunia industri, dalam hal ini pendidikan tunduk pada kemauan pasar, pendidikan hanya ditujukan sebagai lembaga pensuplai tenaga kerja untuk dunia industri. Pendidikan dengan demikian tidak lagi sebagaimana ideal konsep pendidikan sebagai lembaga pencerahan dan pembangun peradaban, menciptakan peradaban manusia, tapi sekadar mengikuti jalan peradaban yang dibangun oleh para kaum kapitalis-borjuis di atas puing-puing humanisme, bersenjatakan legitimasi ilmu pengetahuan yang mereka kendalikan.


[1] Disampaikan oleh Amruloh dalam diskusi disekretariat HMI Komisariat Insan Cita, pengurus HMI Cabang tulungagung, Kabid PAO.
[2] Sudjana, Eggy. Islam Fungsional, PT RADJAGRAPINDOROSADA, Jakarta. ( mantan Ketum PB HMI )
[3] Ismail, Faisal, 2001. Islam Transformasi social dan Kontinuitas sejarah. PT TIARA WACANA.  Yogjakarta.
[4] Pengurus Besar HMI Kabid KPP tahun 2010-2012. Disampaikan dalam forum LK2 HMI Cabang tulungagung tahun 2013 di villa Argo Wilis sendang pukul 19.00 wib, 21 September 2013.
[5] Madjid, Nurcholis, 1997. Tradisi islam “ peran dan fungsi dalam pembangunan indonesia, PARAMADINA, Jakarta Selatan, hal: 65. (mantan ketum PB HMI 2 Periode )

MUSLIM INTELEKTUAL PROFESIONAL
oleh: Amruloh*
Sungguh hanya kita (Mahasiswa)…….
Mahasiswa adalah elit masyarakat. Mahasiswa berperan sebagai pejuang moral. Sebagai control sosial dan agen perubahan.Pejuang moral: mahasiswa adalah kaum intelektual sebagai pemegang amanah bangsa sebagai corong n penyampai aspirasi rakyat. Apa yang dilakukan mahasiswa akan menjadi panutan masyarakat. Maka dari itu mereka akan kembali ke masyarakat dan mengembangkan sumberdaya masyarakat. Sosial control: mahasiswa adalah obat masyarakat yang sedang sakit. Tak hanya itu mahasiswa mampu meracik obat bagi masyarakat. Melindungi kaum tertindas dan menyuarakan kebenaran, mengaspirasikan kelus kesah masyarakat Agen perubahan: mahasiswa adalah seorang pemuda. Siapa yang menguasai pemuda hari ini akan menguasai masa depan. Karna pemuda adalah generasi penerus bangsa sebagai pemikul amanh tonggak kepemimpinan negeri. mayoritas negara ini adalah islam, namun karena islam kita adalah inklusive, maka toleransi sangat tinggi antar umat beragama.....para agent penerus sebagai indikator kesejahteraan dan kembang kempisnya negara masa datang...sebagai mahasiswa yang memiliki ghiroh revolusioner maka misi umat dan bangsa selalu didengung-dengungkan. aktivis yang punya nilai jual tingguidari hasil olah intelektualnya dan profesional dalam pengabdiannya menuju manusia (kader) paripurna.

MAHASISWA YANG TERGERAK DALAM "AKTIVIS ORGANISASI" adalah miniatur Kehidupan

Reformasi 1998 mahasiswa kehilangan musuh bersama. Mahasiswa dan kelompok cenderung punya sift ke-akuan. Sehingga meninmbulkan karakter individualis. Dan mengakibatkan kelahiran mahasiswa kupu-kupu, cheerleader dan aktifis lupa peran.Kondisi mahasiswa memerlukan kaderisasi sehingga siap bertarung n mengabdi di masyarakat.
Maka dari itu aktivis mahasiswa memberikan obat bagi mahasiswa untuk menyiapkan mereka menjadi calon pengabdi bangsa ini.

*mahasiswa akhir STAIN Tulungagung


Judul buku: CUPU MANIK ASTAGINA”Tragedi Maha Hebat Pusaka Pemberian Batara Surya
Pengarang: Ardian Kresna
Translate: amruloh [saja]
sebenarnya, aku sudah berniat akan memberikan Cupu Manik Astagina itu kelak pada seorang pemimpin di zaman titisan Wisnu yang ke tujuh kali di bumi Jawadwipa. Cupu itu akan aku berikan kepada seorang pemimpin yang mampu dan benar-benar kuat memilikinya. Di tangan seorang yang tepat, maka
Cupu Manik Astagina akan benar-benar dapat memenuhi apa pun bentuk permintaan pemiliknya. Sesungguhnya dalam Cupu itu terkandung rumus dari ajaran kepemimpinan yang berupa delapan sifat yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin dengan sebutan astabrata. Oleh karena itu, Cupu Manik Astagina dapat pula disebut sebagai pedoman peradaban manusia. Cupu Manik adalah gambaran tentang nilai-nilai keagungan. Manik adalah permata yang melambangkan sesuatu yang indah. Sedangkan Astagina artinya adalah delapan macam sifat yang harus dimiliki oleh seorang brahmana. “adapun delapan sifat itu tertera jelas dalam buku ini”. Salah satu sifat yang terakhirnya adalah asprebah yang diartikan tidak berkeinginan atau berhawa nafsu duniawi.
Tidak sembarangan oprang mampu memiliki pusaka ini. Ia yang benar-benar suci dan kuat hatinya dalam memegang Cupu tersebut maka mustika Manik Astagina itu akan memiliki delapan daya penunjang baginya; salah satunya adalah tidak pernah jatuh cinta. Penunjang yang lain termuat dalam buku ini. Saya petakan raja beserta keturunannya yang akan menggemparkan jagat jawadwipa.
Negara grastina

Negara Alenka

Raja suleka+dewi sukami

Resi wisrawa=dewi sukesi

Gutama+indradi

Wibisana,sarpakenaka,kumbakarna,rahwana

Dewi anjani-raden guwarsi-guwarsa



Mau tau kelanjutan cerita dan hebohnya trgedi astrabata ??? kunjungi di HMI Cabang Tulungagung
Note : yang hobi baca, buku dimiliki oleh saudara amruloh
Back To Top