MATI SIJI MATI KABEH. MUKTI SIJI MUKTI KABEH.

MATI SIJI MATI KABEH. MUKTI SIJI MUKTI KABEH.
amruloh. Diberdayakan oleh Blogger.

pemikiran tentang era global neo ;iberalisme


HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM

(HMI) CABANG TULUNGAGUNG


Sekretariat: Jl. Dr. Wahidin Sudiro Husodo Gg. Balai Desa Kedungwaru Tulungagung
DAMPAK GLOBALISASI DI INDONESIA[1]
                Globalisasi memang tidak memiliki makna yang tunggal, namun secara terminologis dapat dikatakan bahwa globalisasi adalah proses mendunia, dari kata globe yang arti sederhananya adalah dunia, global yang berarti sedunia, sejagat. Menurut eggy sudjana, globalisasi merupakan ideology kapitalisme.[2] Globalisasi identik dengan suatu ungkapan yang berarti penyatuan (integrasi) dan penundukan ekonomi local kedalam perekonomian dunia. Dengan demikian secara sederhana, era globalisasi dapat dimaknai sebagai era kesejagatan, sebuah kondisi sosial-budaya yang memungkinkan semua hal yang tadinya hanya dapat dijangkau dan berpengaruh serta dipenaruhi dalam konteks ruang dan waktu terbatas, hanya dikenal terbatas dalam ranah sosial tertentu, menjadi bersifat dunia dalam pengertian dunia internasional. Sesuatu itu mengalami proses mendunia, mencapai level internasional, mampu menjangkau seluruh penjuru dunia karena sudah bersifat global (bersifat dunia, harus dibedakan dengan “dunia” yang dilawankan dengan “akhirat”).
                Pada abad ke 2 M konstelasi dunia dikuasai oleh Romawi. Berlanjut keabad 4 dan 10 M dunia telah dikuasai oleh Negara Cina. Sesampainya abad ke 13 M dikuasai oleh bani Abbasiyah.[3] Dan kini, Memasuki abad ke-21, dunia ditandai dengan dominasi tunggal peradaban barat yang capital. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Francis Fukuyama dalam bukunya The End Of History “ umat manusia saaat ini sedang sama-sama digiring untu terlibat dalam revolusi global produk peradaban capital, termasuk didalamnya adalah liberalisasi ekonomi dan era pasar bebas. Sebagai misal, suatu produk budaya tertentu seperti makanan cepat saji (fast food) ala Amerika semacam McDonald’s dan Coca-Cola, yang sebenarnya ia berada pada konteks lokal Amerika, untuk memenuhi kebutuhan masyarakat industrialis-modernis Amerika yang membutuhkan layanan serba cepat, termasuk dalam hal makan-minum, yang membutuhkan sesuatu yang segar dan bergaya asyik (Coca-Cola). Namun dalam globalisasi, McDonald’s dan Coca-Cola berupaya untuk mendunia, mengglobal, dikenal di dan menjangkau seluruh penjuru dunia, memasarkan bahkan sampai jauh di pelosok Afrika, membuka waralaba di mana-mana. McDonald’s dan Coca-Cola dengan demikian dapat dikatakan telah mengglobal. Di sinilah, era di mana segala sesuatu memiliki kencederungan untuk mengglobal atau mendunia disebut sebagai era globalisasi. Selain itu, menurut Tokoh HMI Nurrendra Bagaskara,[4] adanya pasar bebas menjadikan perusahaan asing menghuni Indonesia salah satunya PT Freeport telah mengekploitasi kekayaan alam Indonesia. Asing menggunakan kebijakan Hukum Indonesia.
                Menurut seorang tokoh cendekiawan Indonesia yaitu kakanda nurcholis Madjid, Gobalisasi sangat identik dengan era modern. Dan kita pun paham di era modern ini sangat khas dengan industrialisasi. Industrialisasi adalah suatu kemestian, Industrialisasi sebagai ciri memasuki zaman modern.[5] Globalisasi ini berdampak pada sosio-kultural Indonesia yaitu pertama  semangat perorangan dengan tingkat kemandirian yang tinggi. Kedua perorangan mempunyai kemampuan menyesuaikan diri dengan keadaan yang selalu berubah. Ketiga masyarakat modern melahirkan individu-individu dengan kesadaran harga dan martabat diri yang relatif tinggi.
                Konon pada mulanya, globalisasi memang digagas sebagai jalan bagi perusahaan multinasional seperti Coca-Cola, Ford, dan McDonald’s untuk dapat memasarkan produknya ke seluruh pelosok dunia, tidak sekadar memenuhi kebutuhan masyarakat industrialis-modernis Amerika, tapi bahkan menciptakan segementasi baru, masyarakat di dunia lain sebagai konsumen-konsumen baru. Tiada lain tentu adalah untuk ekspansi perusahaan yang akan semakin memberikan untung yang berlipat ganda pada pemilik perusahaan, pemilik modal. Namun sebenarnya jika tilik lebih jauh mengenai globalisasi, di samping ia adalah keniscayaan dari pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang dapat menghubungkan semua orang dari seluruh penjuru dunia dalam jaringan maya radio, televisi, telepon, dan internet, sebenarnya globalisasi tiada lain adalah gagasan untuk melegitimasi bentuk baru dari penjajahan dan penindasan (neo-kolonialisme/neo-imperialisme).
                Hal ini karena dalam konteks sosio-politik-ekonomi, gagasan globalisasi dipromosikan begitu gencar oleh Barat (Amerika dan Eropa) dengan menyatakan bahwa globalisasi adalah keniscayaan yang tak dapat ditolak, ia adalah kenyataan yang pasti hadir dalam kehidupan dan kita tidak dapat mengelakkannya. Di sisi lain, pihak atau negara-negara yang memiliki kekuatan besar secara ekonomi, politik, dan bahkan budaya adalah Barat, terutama Amerika setelah perang dingin selesai, maka yang otomatis menguasai dunia atau secara kasar menjajah dunia adalah Barat. Globalisasi sebagai sebuah peluang, jalan, dan media yang memberi kesempatan siapa dan apa saja untuk mendunia pada hakikatnya tidaklah sedemikian fair, karena dalam arena kompetisi globalisasi pada akhirnya kekuatan-kekuatan besarlah yang akan mendominasi dan memenangkannya. Globalisasi dengan demikian adalah jalan lebar dari intervensi dalam bentuk penjajahan baru dalam ekonomi, budaya, dan politik dari negara-negara maju ke negara-negara berkembang.
                Di sinilah dalam bidang ekonomi, produk dunia industri Barat merajai dunia, budaya Barat mendunia dalam bentuk film-film Hollywood, disneyland, pun dalam bentuk pandangan hidup, tata nilai, norma kesusilaan dan lainnya, dalam bidang politik pun Barat menghegemoni dunia, Amerika Serikat bertindak bak polisi dunia yang disegani, tiada yang berani melawan ketika ia menyerbu Iraq dengan dalih mencari senjata biologis yang pada kenyataannya tidak ditemukan. Ilmu pengetahuan Barap pun menjadi cepat menyebar dan bahkan banyak yang kemudian diamini begitu saja, tanpa dikritisi dan koreksi lebih jauh. Globalisasi membentuk peta dunia baru, peta ekonomi, budaya, dan bahkan politik, tidak dalam arti geografi konvensional, tapi dalam peta dunia di mana batas-batas budaya sudah luntur, bahkan batas-batas transaksi ekonomi tiada lagi. Orang di Indonesia dapat bebas menerima pertunjukan tari Samba dari Brazil, di Brazil orang dapat menikmati tari Bali, di Indonesia orang dapat bertransaksi jual-beli dengan orang Eropa hanya dalam hitungan detik, produk-produk Barat membanjiri mall-mall di Indonesia.
                Dalam fenomena tersebut, kepentingan pemilik modal, mereka yang dalam analisis Marxian disebut sebagai para kapitalis-borjuis sangat kental, inilah yang secara sederhana disebut sebagai paham neoliberal (neoliberalisme), yakni mereka yang berpendirian bahwa satu-satunya, dan hanya satu-satunya jalan menuju kesejahteraan warga dunia adalah melalui pasar bebas, lain tidak. Dengan dimotori oleh Milton Friedman dan Hayek gagasan ekonomi-politik neoliberalisme dipromosikan dan kemudian dijalankan di banyak negara maju, termasuk Amerika dan Inggris pada mulanya. Mereka memperbarui ekonomi liberalisme klasik Adam Smith dan menolak teori ekonomi John Meynard Keyness yang memberikan kewenangan bagi negara untuk campur tangan dalam perekonomian. Ekonomi neoliberalsme dengan jargon pasar bebas menolak campur tangan pemerintah dalam transaksi ekonomi dengan mengatakan bahwa transaksi ekonomi pasar bebas akan mengoreksi dirinya sendiri (mitos invisible hand), dan sebaliknya campur tangan pemerintah dalam bentuk regulasi akan merusak tatanan ekonomi, oleh karena itu para ekonom neoliberal selalu mengusulkan perlunya deregulasi. Tatanan ekonomi neoliberalisme ini akan selalu berupaya mengukuhkan imperium para kapitalis-borjuis, bagaimana aar modal hanya berputar dan menjadi milik mereka, hal tersebut tidak hanya karena mereka memiliki hasrat tinggi (baca: keserakahan) dalam memupuk kekayaan materi, lebih dari itu mereka percaya pada doktrin neoliberalisme, yaitu mitos trickle down effect, bahwa kekayaan yang dipupuk dan dimiliki oleh para kapitalis-borjuis itulah yang akan menetes ke bawah dan menyejahterakan semuanya, lewat upah pada buruh, lewat filantropi, dan lainnya.
                Gagasan ekonomi neoliberal tersebut kemudian diteguhkan dengan didirikannya lembaga ekonomi seperti IMF, Bank Dunia, dan lainnya. lembaga-lembaga tersebutlah yang kemudian menginisiasi dibentuknya zona-zona perdagangan bebas di beberapa kawasan, dan kemudian nantinya akan betul-betul masuk dalam pasar bebas dunia. Cita-cita ideologis ekonomi neoliberal ini hanya dapat berjalan dengan dukungan dari gelombang globalisasi, tanpa globalisasi maka pasar bebas yang dicita-citakan para ekonomi neolib akan sulit terwujud. Hal yang perlu diingat di sini adalah, pasar bebas yang dipromosikan tersebut tentunya bukan pasar transaksi yang benar-benar bebas, kata “bebas” tersebut hanya kamuflase bagi tindakan monopoli, koersi oleh para kapitalis-borjuis terhadap kekuatan ekonomi kecil. Dalam pasar “bebas” itulah, ketika kompetisi dibuka untuk semua, baik yang punya modal kecil atau besar dapat bersaing bebas, maka sebetulnya yang terjadi adalah penindasan dari yang punya modal besar terhadap yang punya modal kecil. Ketika pemahaman tentang hak asasi manusia telah berkembang pesat, dan tiada lagi ruang untuk melakukan penjajahan gaya konvensional secara fisik, maka tiada lagi cara menjajah selain dalam bentuk baru, penjajahan ekonomi, politik, dan budaya melalui jalan lebas globalisasi.
                Di satu sisi globalisasi membawa dampak perubahan yang positif karena ilmu pengetahuan melalui teknologi informasi dan komunikasi terkini dapat diakses dengan cepat oleh siswa, dosen, peneliti di negara-negara berkembang seperti Indonesia via televisi dan internet. Namun di sisi lain globalisasi dengan pasar bebasnya telah membuat orang-orang di negara berkembang cenderung hanya sebagai konsumen yang tidak berdaya, produsen yang ditindas para pemodal yang lebih besar, karena peran negara telah dipreteli oleh pasar. Negara sekadar menjadi alat bagi kaum kapitalis-borjuis untuk meneguhkan kekuatan ekonomi mereka, membangun imperium kekuasaan baru, imperium kapitalisme global.
Nalar neoliberalisme ini pun pada akhirnya mencengkeram dunia pendidikan, karena pendidikan adalah ranah yang sangat strategis dalam membentuk tatanan sosial melalui transformasi intelektual dan sosial, terutama kampus yang didaku sebagai centre of exellence. Beberapa praktik neoliberalisme dalam pendidikan atau yang dapat disebut sebagai neoliberalisme pendidikan antara lain adalah, pertama, berupaya untuk melepas tanggung jawab pemerintah dalam mendanai pendidikan. Pendidikan publik yang mestinya menjadi hak dari tiap warga negara untuk mendapatkannya dilepaskan dari tanggung jawab negara, dan kemudian ia menjadi santapan empuk bagi kalangan pemodal untuk menjadikannya sebagai bagian dari bisnis mereka. Dalam pelepasan tanggung jawab tersebut, pemerintah menyerahkannya sebagai tanggung jawab masyarakat bersama.
Kedua, menyamakan dunia pendidikan dengan dunia industri. Dalam hal ini, sekolah, kampus dan semua institusi pendidikan dianggap bagaikan sebuah pabrik, di mana ilmu pengetahuan dijual, siapa yang dapat membayar lebih banyak maka ia yang akan mendapatkan ilmu pengetahuan lebih banyak. Sekolah dan kampus dikelola dalam nalar perusahaan (korporasi, menjadi korporatisasi) dengan banyak pertimbangan ekonomis, seperti efektivitas, efesiensi, produktivitas, dan lainnya. Nalar ini juga menjadikan institusi pendidikan adalah sarana untuk mengeruk dan memupuk untung materi, jadi tujuan utamanya bukanlah proses pemanusiaan, pemerdekaan, pengembangan ilmu pengetahuan, namun sekadar dapat berjalan sebagaimana rutinitas industri yang menerima in put, kemudian mengolahnya, dan mengeluarkan produk yang memiliki nilai tambah dan produktivitas lebih.
Ketiga, dunia pendidikan sekadar menjadi subsistem dari tatanan ekonomi neoliberal. Dalam nalar ini, siswa yang masuk dalam sekolah atau kampus dididik dengan doktrin-doktrin modernisme-neoliberal, mereka diarahkan pandangan hidupnya pada pencapaian kesuksesan hidup ala kaum neolib, diarahkan pembangunan sosial-budaya ala borjuis-kapitalis, dan ikut dalam pandangan dan gaya hidup kaum borjuis-kapitalis. Para siswa diberikan kompetensi yang sekiranya dibutuhkan oleh dunia industri, dalam hal ini pendidikan tunduk pada kemauan pasar, pendidikan hanya ditujukan sebagai lembaga pensuplai tenaga kerja untuk dunia industri. Pendidikan dengan demikian tidak lagi sebagaimana ideal konsep pendidikan sebagai lembaga pencerahan dan pembangun peradaban, menciptakan peradaban manusia, tapi sekadar mengikuti jalan peradaban yang dibangun oleh para kaum kapitalis-borjuis di atas puing-puing humanisme, bersenjatakan legitimasi ilmu pengetahuan yang mereka kendalikan.


[1] Disampaikan oleh Amruloh dalam diskusi disekretariat HMI Komisariat Insan Cita, pengurus HMI Cabang tulungagung, Kabid PAO.
[2] Sudjana, Eggy. Islam Fungsional, PT RADJAGRAPINDOROSADA, Jakarta. ( mantan Ketum PB HMI )
[3] Ismail, Faisal, 2001. Islam Transformasi social dan Kontinuitas sejarah. PT TIARA WACANA.  Yogjakarta.
[4] Pengurus Besar HMI Kabid KPP tahun 2010-2012. Disampaikan dalam forum LK2 HMI Cabang tulungagung tahun 2013 di villa Argo Wilis sendang pukul 19.00 wib, 21 September 2013.
[5] Madjid, Nurcholis, 1997. Tradisi islam “ peran dan fungsi dalam pembangunan indonesia, PARAMADINA, Jakarta Selatan, hal: 65. (mantan ketum PB HMI 2 Periode )

0 Comment for "pemikiran tentang era global neo ;iberalisme"

Back To Top